1. TEORI ILMU JIWA RAYA
Menurut teori ini, jiwa manusia terdiri dari bermacam-macam daya. Masing-masing daya dapat dilatih dalam rangka untuk memenuhi fungsinya. Untuk melatih suatu daya itu dapat digunakan berbagai cara atau bahan. Sebagai contoh untuk melatih daya ingat dalam belajar misalnya dengan menghafal kata-kata atau angka, istilah-istilah asing. Begitu pula untuk daya-daya yang lain. Yang penting dalam penguasaan bahan atau materinya, melainkan hasil dari pembentukan daya-daya itu. Kalau sudah demikian, maka seseorang yang belajar itu akan berhasil.
2. TEORI BEHAVIORISTIK
Teori belajar behavioristik ada dasarnya perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagi hasil interaksi antara stimulus dan respons. Para ahli yang banyak berkarya diantaranya Thorndike, Watson, Hull dan Skinner.
Menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati). Pendapat Thorndike lebih dikenal dengan teori konektionisme maka digolongkan pada teori asosiasi.
Sedangkan menurut Watson, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi factor-faktor tersebut tidak bisa dijelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hull mengemukakan konsep pokok teorinya yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusinya Darwin. Bagi Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respons mungkin bermacam-macam bentuknya.
Edwin Guthrie, mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu. Guthrie berpendirian bahwa hubungan antara stimulus dengan respons merupakan factor kritis dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respons akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Guthrie juga mengemukakan bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Menurutnya, suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang.
Menurut Skinner, pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab ‘alat” itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching Machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguatan (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori Skinner.
3. TEORI ASOSIASI
Ilmu jiwa asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Dari aliran ini ada dua teori yang sangat terkenal yakni teori konektionisme dari Thorndike dan teori Conditioning dari Pavlov.
Menurut Thorndike, dasar dari belajar itu adalah asosiasi antara kesan panca indera (sense impresion) dengan impuls untuk bertindak (impuls to action). Asosiasi yang demikian ini dinamakan “connecting”. Dengan kata lain belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dan respons ini akan terjadi suatu hubungan yang erat kalau sering berlatih. Berkat latihan yang terus menerus, hubungan antara stimulus dan respons itu akan menjadi terbiasa, otomatis.
Thorndike mengemukakan beberapa prinsip atau hukum di antaranya sebagai barikut:
a. Law of effect (hukum akibat)
Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat, kalau disertai dengan perasaan senang atau puas, dan sebaliknya kurang erat atau bahkan bisa lenyap kalau disertai perasaan tidak senang.
Karena itu adanya usaha membesarkan hati, memuji dan kegiatan reinforcement sangat diperlukan dalam kegiatan belajar. Hal ini akan lebih baik, sedangkan hal-hal yang bersifat menghukum akan kurang mendukung.
b. Law of multiple response (hukum respons)
Dalam situasi problematis, kemungkinan besar respons yang teat itu tidak segera tampak, sehingga individu yang belajar harus berulang kali mengadakan percobaan sampai respons itu muncul dengan tepat. Prosedur inilah yang dalam belajar lazim disebutnya dengan istilah trial dan error. Tetapi kalau dikaji secara teliti, di dalam manusia menghadapi problema, alternatif-alternatif pemecahannya biasa diilih, dikira-kira mana yang lebih tepat dan sesuai untuk menghasilkan pemecahan yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu, istilah trial and error, lebih baik disebut dengan ‘discovering the right path to the objective”.
c. Law of exercice atau law of use and disuse (hukum latihan)
Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat kalau sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika jarang atau tidak pernah digunakan. Oleh karena itu perlu banyak latihan, ulangan dan pembiasaan.
d. Law of assimilation atau law of analogy (hukum asimilasi)
Seseorang dapat menyesuaikan diri atau member respons yang sesuai dengan situasi sebelumnya.
Keberatan-keberatan dari teori Thorndike (konektionisme) ini adalah:
a. Belajar menurut teori ini bersifat mekanistis. Apabila ada respons, dengan sendirinya atau secara mekanis timbul respons. Latihan-latihan ujian, bahkan ulangan dan ujian para subjek didik banyak yang berdasarkan hal-hal semacam ini.
b. Pelajaran bersifat teacher centered. Dalam hal ini guru aktif melatih dan menentukan apa yang harus diketahui subjek didik/siswa ( guru memberi stimulus).
c. Subjek didik/siswa menjadi pasif, kurang terdorong untuk berfikir dan tidak ikut menentukan bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Siswa belajar menunggu datangnya stimulus dari guru
d. Teori ini lebih mengutamakan materi, yakni hanya memupuk pengetahuan yang diterima dari guru dan cenderung menjadi intelektualistis
4. TEORI KONDISIONING
Kalau seseorang mencium bau sate, air liur pun mulai keluar (kemecer). Demikian juga kalau seseorang naik kendaraan di jalan raya, begitu lampu merah, berhenti. Bentuk kelakuan itu pernah dipelajari berkat conditioning. Bentuk kelakuan semacam ini pernah dipelajari oleh Pavlov dengan mengadakan percobaan dengan anjing. Tiap kali anjing itu diberi makan,lampu dinyalakan. Karena melihat makanan, air liurnya keluar. Begitu seterusnya hal itu dilakukan berkali-kali dan sering diulangi, sehingga menjadi kebiasaan. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka pada suatu ketika lampu dinyalakan tetapi tidak diberi makanan, air liur anjing pun keluar.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari pola seperti itu banyak terjadi. Seseorang akan melakukan sesuatu kebiasaan karena adanya sesuatu tanda. Misalnya anak sekolah mendengar lonceng, kemudian berkumpul, tentara akan mengerjakan atau melakukan segala sesuatu gerakan karena aba-aba dari komandannya, permainan sepakbola itu akan berhenti kalau mendengar bunyi peluit.
Teori ini kalau diterapkan dalam kegiatan belajar juga banyak kelemahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain:
1. Percobaan dalam laboratorium, berbeda dengan keadaan sebenarnya.
2. Pribadi seseorang (cita-cita, kesanggupan, minat,emosi dan sebagainya) dapat mempengaruhi hasil eksperimen.
3. Respons mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang tak dikenal. Dengan kata lain, tidak dapat diramalkan lebih dulu, stimulus manakah yang menarik perhatian seseorang.
4. Teori ini sangat sederhana dan tidak memuaskan untuk menjelaskan segala seluk beluk belajar yang ternyata sangat komplek itu.
5. TEORI GESTALT DAN INSIGHT
Teori ini berpendapat bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian/unsur. Sebab keberadaannya keseluruhannya itu juga lebih dulu. Sehingga dalam kegiatan belajar bermula pada suatu pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh. Tokoh penting yang merumuskan penerapan dari kegiatan pengamatan ke kegiatan belajar itu adalah Koffka. Dalam mempersoalkan belajar,
Koffka berpendapat bahwa hukum-hukum organisasi dalam pengamatan itu berlaku/bisa diterapkan dalam kegiatan belajar. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa belajar itu pada pokoknya yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yakni mendapatkan respons yang tepat. Karena penemuan respons yang tepat tergantung pada kesediaan diri si subjek belajar dengan segala panca inderanya. Dalam kegiatan pengamatan keterlibatan semua panca indera itu sangat diperlukan. Menurut teori ini memang mudah atau sukarnya suatu pemecahan masalah itu tergantung pada pengamatan.
Menurut aliran teori belajar itu, seseorang belajar jika mendapatkan insight. Insight ini diperoleh kalau seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu. Adapun timbulnya insight itu tergantung hal-hal berikut:
a. Kesanggupan : maksudnya kesanggupan atau kemampuan intelegensia individu
b. Pengalaman : karena belajar, berarti akan mendapatkan pengalaman-dan pengalaman itu mempermudah munculnya insight.
c. Taraf kompleksitas dari suatu situasi : semakin kompleks semakin sulit
d. Latihan : dengan banyak latihan akan dapat mempertinggi kesanggupan memperoleh insight, dalam situasi-situasi yang bersamaan yang telah dilatih
e. Trial and error : sering seseorang tidak dapat memecahkan suatu masalah. Baru setelah mengadakan percobaan-percobaan, seseorang dapat menemukan hubungan berbagai unsur dalam problem itu, sehingga akhirnya menemukan insight.
Dari aliran ilmu jiwa Gestalt/keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain:
a. Manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhannya, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, social dan sebagainya;
b. Belajar adalah penyelesuaian diri dengan lingkungan;
c. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap, lengkap dengan segala aspek-aspeknya;
d. Belajar adalah perkembangan kea rah diferensiasi yang lebih luas;
e. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight;
f. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar,motivasi memberi dorongan yang menggerakkan seluruh organisme;
g. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan;
h. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.
Belajar menurut ilmu jiwa gestalt, juga sangat menguntungkan untuk kegiatan belajar memecahkan masalah. Hal ini tampaknya juga relevan dengan konse teori belajar yang diawali dengan suatu pengamatan. Belajar dalam memecahkan masalah diperlukan juga juga suatu pengamatan yang cermat dan lengkap. Kemudian bagaimana seseorang itu dapat memecahkan masalah. Menurut John Dewey ada lima langkah dalam upaya pemecahan, yakni:
a. Realisasi adanya masalah. Jadi harus memahami apa masalahnya dan juga harus dapat merumuskan.
b. Mengajukan hipotesis, sebagai suatu jalan yang mungkin member arah pemecahan masalah.
c. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumber-sumber lain.
d. Menilai dan mencobakan usaha pembuktian hipotesis dengan keterangan-keterangan yang diperoleh.
e. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau berbuat sesuatu dengan hasil pemecahan soal itu.
6. TEORI BELAJAR SOSIAL BANDURA
Teori Belajar Sosial (Social Learning) oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu – individu lain yang menjadi model.
Bandura menyatakan bahwa orang belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Selama jalannya Observational Learning, seseorang mencoba melakukan tingkah laku yang dilihatnya dan reinforcement/ punishment berfungsi sebagai sumber informasi bagi seseorang mengenai tingkah laku mereka. Teori belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan).
Modeling lebih dari sekedar peniruan atau mengulangi perilaku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Modelling dilakukan melalui empat proses yaitu perhatian, representasi, peniruan tingkah laku, dan motivasi dan penguatan. Perhatian dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan orang yang diamati (model), sifat dari model tersebut, dan arti penting tingkah laku yang diamati. Representasi berarti tingkah laku yang akan ditiru harus disimbolisasikan dalam ingatan. Dalam peniruan tingkah laku, pengamat harus mempunyai kemampuan untuk menirukan perilaku dari model yang diamati. Modeling ini akan efektif jika orang yang mengamati mempunyai motivasi yang tinggi untuk meniru tokoh yang diamatinya.
Satu konsep penting yang dikemukakan Bandura adalah reciprocal determinism, yaitu seseorang akan bertingkah laku dalam suatu situasi yang ia pilih secara aktif. Dalam menganalisis perilaku seseorang, ada tiga komponen yang harus ditelaah yaitu individu itu sendiri (P: person), lingkungan (E: environment), serta perilaku si inidividu tersebut (B: behavior). Individu akan memunculkan satu bentuk perilaku yang sama meskipun lingkungannya serupa, namun individu akan bertindak setelah ada proses kognisi atau penilaian terhadap lingkungan sebagai stimulus yang akan ditindaklanjuti. Bandura menyatakan bahwa kognisi adalah sebagai tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita mempengaruhi tingkah laku.
Self efficacy
Self efficacy
Ini adalah persepsi seseorang mengenai kemampuannya didalam menghadapi suatu situasi. 2 komponen dalam Self efficacy adalah:
1. Outcome expectations : perkiraan individu bahwa suatu outcome tertentu akan muncul dan pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan
2. Efficacy expectations : beliefs bahwa ia bisa melakukannya atau tidak.
Ditekankan bahwa self efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Segala tingkah laku, bisa tingkah laku dalam bekerja, akademis, rekreasi, sosial dipengaruhi oleh self efficacy.
Expectancy adalah variabel kognitif dalam hubungan antara stimulus dan respon. Outcome expectancy adalah antisipasi dari hubungan yang sistematik antara kejadian-kejadian atau objek-objek dalam suatu situasi. Bentuknya adalah “jika-maka” antara perilaku dan hasilnya. Gagalnya suatu peristiwa mengikuti bentuk “jika-maka” yang ada dalam pola pikir individu, maka jika harapan dari individu terlalu tinggi dan tidak dapat tercapai, individu tersebut akan lebih mudah mengalami gangguan karena ketidaknyamanan yang ia alami.
Self Regulation
Self Regulation
Self regulation adalah kemampuan individu untuk mengatur perilakunya sendiri dengan internal standard dan penilaian untuk dirinya. Konsep ini menjelaskan mengapa manusia bisa mempertahankan perilakunya walaupun tidak adanya rewards yang berasal dari lingkungan eksternal. Konsep ini tidak dapat berjalan tanpa adanya internal standards seseorang.
Internal standards adalah pemikiran yang berasal dari pengaruh modelling sebelumnya dan juga berbagai reinforcement yang lalu. Dengan adanya pemaknaan terhadap fenomena tertentu yang menurutnya baik atau bernilai, maka nilai-nilai tersebut menjadi patokan nilai internal individu yang bersangkutan. Semakin tinggi internal standard seseorang, semakin besar harapannya untuk mencapai nilai tersebut dan semakin besar pula kemungkinan individu tersebut mengalami gangguan-gangguan.
Daftar Pustaka
Sardiman. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Suwarno,Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Percetakan Ar-Ruzz. Yogyakarta
Tim Penyusun. 2008. Bahan Ajar Pengantar Pendidikan. UNP. Padang.
Uno,Hamzah B. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar